Sidang Istimewa
- Huwaida
- Feb 13, 2022
- 3 min read
Suara binatang malam terdengar seakan tak membiarkan penghujung malam ini berakhir sepi nan sunyi. Sang dewi rembulan memancarkan sinarnya diantara gemerlapan milyaran bintang, menemani langkah tertatih laki-laki bertubuh jangkung membelah rerumputan liar setinggi lutut. Sapuan kasar udara malam membuatnya mengeratkan jaket denim milik sang Ayah yang menjadi peninggalan sebelum memejamkan mata selamanya.
“Dion.”
Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Ia sangat kenal dengan suara lembut itu. Suara milik gadis yang telah meninggalkannya sejak dua tahun lalu. Kembali Dion melangkah. Mungkin itu hanya halusinasinya saja di malam ini.
“Dion.”
Lagi, suara lembut terdengar sama. Dion mengepalkan kedua tangannya. Ia benci dengan suasana ini. Dion menunduk menatap seorang gadis berpakaian rumahan yang menatapnya lekat. Bandana biru dua tahun lalu yang ia berikan mempercantik rambut hitam legam itu.
“Dion, kamu ngapain?”
Ah, tidakkah gadis itu tahu ia kerap kemari untuk apa?
“Tak apa,” balasnya singkat.
Tubuhnya meremang mencium aroma kemenyan yang sangat menusuk. Sedikit mual ketika bercampur aroma amis darah. Dion melirik. Di bawah temaram sinar rembulan ia tetap dapat melihat jelas secantik apa gadis itu dengan rambut indah terurai sepinggang.
Dion memundurkan langkah dan berbalik. “Aku duluan.”
“Dion, selamat!!” Tubuh atletis setinggi 185 cm itu menegang. “Selamat berhasil menjadi ketua Rokat!”
Kepala Dion menunduk merasakan pegangan lembut jari-jari panjangnya. Terkekeh kecil dalam hati melihat jari gadis itu sangatlah kecil. Dion menatap pancaran bola mata rusa milik gadis itu yang sangat indah, terpantul wajah tampannya keturunan Eropa dari sang ibu.
“Terima kasih Hana,” katanya seraya melepaskan jemari kecil itu dari tangannya. Dion mendongak menelisik lebih jauh hamparan langit malam yang mulai sedikit tertutup awan. “Bulan itu indah, bukankah demikian?”
“Ya, selalu!” jawab Hana bersemangat.
“Bola matamu juga.”
Hana mengerjap. Meskipun demikian, bibir ranum nan tebal itu mengulas senyum tipis. “Aku tahu. Kamu selalu mengatakan itu sejak dua tahun lalu.”
“Iya,” gumamnya.
Hana menengok. Laki-laki itu begitu tampan di bawah pantulan rembulan. Seakan Tuhan mempersilahkan ketampanan dibawa semua untuknya. Hidungnya bak paruh elang, kulitnya putih bersih, matanya yang tajam memancarkan kehangatan, bibirnya pucat tak semerah biasanya, dan juga rahang yang begitu mempertegas kewibawaannya.
Tangan Hana terulur mengusap pelan rambut kecoklatan milik Dion lalu turun pada alis tebal laki-laki itu. “Kamu kelihatan capek.”
“Sedikit. Ada masalah dalam dana dan juga izin pelaksanaan program kerja Rokat tahun ini. Padahal buku besar sudah ditandatangani ketika LDK kemarin,” papar Dion.
Dion mengerang merasakan pusing. Rokat, Rohani Katolik menjadi pilihannya di SMA untuk melanjutkan jabatan sebagai ketua umum. Melewati berbagai tahapan dan seleksi hingga akhirnya hasil suara terbanyak dimenangkan olehnya.
“Bukankah kamu sudah konsultasi dengan guru pembimbing sebelum menyusun program kerja?” tanya Hana.
Dion mengangguk pelan. “Tapi ternyata beberapa guru meragukan adanya program kerja ini karena tahun kemarin tidak berjalan. Itu sangat berdampak dengan masa jabatanku!”
Hana mengusap punggung tangan Dion ketika laki-laki itu meninggikan nada suara di akhir kalimat. “Hei, it's okay. Aku tahu kamu pasti bisa lewatinnya, kamu hebat memimpin!”
Sungguh Hana tak berbohong. Dion begitu handal dalam memimpin. Siapapun tak perlu meragukan lagi kemampuannya. Laki-laki itu sangat berbakat dalam tiki-taka terutama masalah seperti ini.
“Oh ya, aku dengar kamu lolos juga dalam seleksi Paskibra?” tanya Hana mengalihkan topik.
Dion menatap Hana terkejut. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Berita itu udah menyebar luas Dion di grup kelas,” ucap Hana jengah, “kamu saja yang tidak pernah membuka. Benar kan?”
Tawa pelan dari suara bariton milik Dion terdengar layaknya alunan musik klasik. “Kamu tahu aku ga pernah ada waktu buat buka pesan.”
“Pemalas,” gumam Hana tajam semakin mengeraskan tawaan Dion.
Dion mengusap lengan Hana yang terbuka. “Sudah malam, pulanglah. Besok kita harus sekolah.”
“Baiklahhh...kamu hati-hati di jalan.”
“Pasti,” jawabnya mantap, “perlu aku antar pulang?”
Hana menggeleng. “Tidak usah. Lagi pula rumahku hanya berjarak dua meter dari sini.”
“Oke, aku pergi,” pamit Dion. Melangkah ke belakang dan melambaikan tangan. Tak lupa senyuman lebar yang hanya ia pamerkan kepada Hana.
Berjalan di tengah gelapnya malam cukup mengerikan memang. Beberapa kali Dion menengok ke belakang memastikan tak ada orang yang mengikutinya lalu memukul tengkuknya dengan tongkat baseball seperti di film-film. Dion mempercepat langkah melihat rumahnya tampak terang.
Krieettt!!
Dion sedikit berlari setelah melewati gerbang besi yang mulai berkarat. Sial. Pupilnya melebar melihat bagaimana kacaunya rumah saat ini. Pecahan vas bunga memenuhi lantai ruang tamu.
Brak!
Bersambung.
Comentarios